![](https://dehills.id/wp-content/uploads/2025/01/image_mid_43104678cfd0442b75-300x200.jpg)
Keputusan pengangkatan Deddy Corbuzier sebagai Staf Khusus Menteri Pertahanan menimbulkan gelombang reaksi yang beragam. Di satu sisi, kelompok oposisi mengkritik, mempertanyakan latar belakang dan kompetensinya dalam urusan pertahanan. Di sisi lain, pendukung pemerintah melihat ini sebagai langkah strategis yang mengakomodasi pemikiran segar dan komunikasi publik yang lebih efektif. Namun, apakah perdebatan ini semata soal mendukung atau menolak? Ataukah kita perlu bertanya lebih jauh: Apakah ini langkah yang strategis dan benar-benar baik bagi bangsa?
Mengapa Deddy?
Deddy Corbuzier bukanlah sosok asing bagi publik. Kariernya yang dimulai dari dunia sulap, lalu merambah ke industri hiburan, hingga akhirnya menjadi salah satu figur paling berpengaruh di media digital, menunjukkan ketajaman instingnya dalam memahami arus informasi dan opini publik. Ia bukan sekadar entertainer; Deddy adalah seorang komunikator ulung yang memahami psikologi massa, kecepatan informasi, serta bagaimana membangun narasi yang efektif di era digital.
Dalam konteks pertahanan, kita mungkin bertanya: Apakah yang dibutuhkan hanya strategi militer dan kebijakan diplomasi keamanan? Atau ada aspek lain yang juga krusial—yakni bagaimana masyarakat memahami isu pertahanan, bagaimana pemerintah menyampaikan kebijakan strategis, dan bagaimana membangun ketahanan nasional dari perspektif komunikasi?
Inilah letak potensi besar Deddy. Di era informasi yang bergerak cepat, narasi tentang pertahanan tidak bisa lagi hanya menjadi konsumsi para pakar dan institusi militer. Publik perlu memahami peran pertahanan dalam kehidupan mereka, dan di sinilah kemampuan komunikasi Deddy bisa menjadi aset strategis.
Deddy jelas tidak membutuhkan pekerjaan ini dalam konteks ekonomi. Penghasilannya dari berbagai kanal digital dan bisnisnya sudah lebih dari cukup. Artinya, keputusan untuk menerima amanah ini tidak berasal dari motif finansial, melainkan dari kesadaran akan tanggung jawab.
Kita bisa membayangkan beban yang kini ada di pundaknya. Masuk ke ranah pemerintahan berarti bersiap menghadapi kritik lebih tajam, sorotan lebih intens, dan ekspektasi lebih besar. Namun, jika ia memilih untuk tetap melangkah, itu berarti ada keyakinan dalam dirinya bahwa ia bisa memberikan sesuatu bagi negara.
Seorang Staf Khusus Menteri Pertahanan bukanlah pengambil keputusan strategis dalam kebijakan militer, tetapi lebih berperan sebagai penasihat, komunikator, dan jembatan informasi antara kementerian dan publik. Jika Deddy mampu menerjemahkan kompleksitas kebijakan pertahanan menjadi sesuatu yang dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat luas, maka perannya bisa menjadi lebih berarti daripada sekadar gelar jabatan.
Kritik tentu akan selalu ada. Dalam politik, segala hal akan dilihat dalam spektrum kepentingan. Namun, di luar sentimen politik, kita harus melihat ini sebagai peluang. Jika Deddy mampu menjalankan perannya dengan baik, maka ini bisa menjadi model baru dalam pemerintahan—di mana profesional non-birokrat dengan keahlian spesifik diberi ruang untuk berkontribusi.
Keberhasilan atau kegagalan Deddy di posisi ini bukanlah soal apakah ia memiliki latar belakang militer atau tidak, tetapi apakah ia mampu membawa perubahan dalam cara kita memahami pertahanan. Jika ia bisa membangun komunikasi yang lebih baik antara pemerintah dan rakyat dalam isu-isu strategis, maka pengangkatannya bukan sekadar kontroversi, melainkan keputusan yang tepat.
Pada akhirnya, pertanyaan sejati bukanlah “Mengapa Deddy mau jadi Staf Khusus?” tetapi “Apa yang bisa ia lakukan untuk bangsa ini?” Jika ia menjawab pertanyaan itu dengan kerja nyata, maka sejarah yang akan menilai apakah keputusannya hari ini adalah langkah yang benar.
Selamat bekerja di dunia nyata Mr Deddy, dunia yang jauh dari sihir dan sulap.