
Indonesia adalah negara besar dengan sumber daya alam yang melimpah, tetapi sering kali terjebak dalam pola pembangunan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan dan kesejahteraan rakyat. Jika ingin maju dan bersaing dengan negara-negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara, maka fondasi utama yang harus dibangun adalah pendidikan, rekrutmen kepemimpinan yang berkualitas, dan penguasaan teknologi secara mandiri.
Namun, realitas yang kita hadapi hari ini menunjukkan bahwa Indonesia masih dikendalikan oleh segelintir elit politik yang lebih sibuk mempertahankan kekuasaan daripada menciptakan perubahan nyata. Negara ini, secara politis, ditentukan oleh hanya delapan orang, yakni para ketua partai yang duduk di Senayan. Keputusan besar, mulai dari kebijakan ekonomi hingga arah pembangunan nasional, sering kali berpusat pada kepentingan kelompok kecil ini, bukan pada kepentingan rakyat secara luas.
1. Pendidikan Sebagai Fondasi Utama
Tidak ada negara maju tanpa sistem pendidikan yang kuat. Jepang, Korea, dan China memahami hal ini lebih dulu, sebab mereka memastikan bahwa setiap warganya memiliki akses ke pendidikan yang mengarah pada kemandirian dan inovasi.
Di Indonesia, pendidikan masih berjalan dalam sistem yang kurang terarah. Ada kesalahan dalam silabus pendidikan politik dan kepartaian, yang seharusnya menjadi bagian dari kurikulum kepemimpinan. Partai politik semestinya menjadi lembaga kaderisasi yang membentuk pemimpin-pemimpin berkualitas, bukan sekadar kendaraan bagi mereka yang ingin berkuasa.
Hari ini, pejabat partai dipilih bukan karena kapasitas atau kompetensi, tetapi karena kedekatan dengan pemimpin partai, atau lebih parah lagi, berdasarkan kekuatan finansial yang mereka miliki. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak mencerminkan kepentingan rakyat, melainkan hanya mengamankan posisi mereka sendiri.
2. Politik yang Terjebak dalam Pola Kekuasaan
Persoalan terbesar Indonesia bukan hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Kepala daerah yang terpilih sering kali bukan karena kapabilitasnya dalam memahami kebutuhan rakyat, tetapi karena faktor uang atau kedekatan dengan oligarki bisnis.
Lebih parahnya lagi, ada pola di mana pemimpin daerah datang dari dunia usaha yang sangat spesifik, misalnya dari sektor tambang atau industri tertentu. Hal ini menimbulkan ketimpangan kebijakan, karena seorang pengusaha tambang yang terpilih sebagai pemimpin daerah tentu akan memiliki kecenderungan untuk melindungi sektor yang ia pahami, sementara permasalahan rakyat jauh lebih kompleks daripada sekadar industri pertambangan atau perkebunan.
Jika pola ini terus berlangsung, Indonesia akan selalu tertinggal, karena pemimpinnya lebih sibuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan bisnis daripada membawa inovasi dalam pembangunan.
3. Mengapa Tidak Meniru Model Sukses Negara Lain?
Salah satu kelemahan terbesar Indonesia adalah ketidakmampuan untuk belajar dari negara lain dengan cara yang benar.
China, Jepang, dan Korea tidak memulai dari nol, tetapi mereka berani meniru dan mengambil alih teknologi dari negara-negara maju. Jepang pernah belajar industri dari Jerman, Korea mempelajari otomotif dari Jepang, dan China secara terang-terangan mengadopsi teknologi dari berbagai negara untuk kemudian mengembangkannya sendiri.
Mengapa Indonesia tidak melakukan hal yang sama?
Alih-alih terus menunggu investasi asing atau mengandalkan industri yang sudah matang di luar negeri, Indonesia seharusnya lebih agresif dalam mengambil alih teknologi. Negara ini perlu mendorong penguasaan ilmu dan rekayasa industri secara mandiri, bukan hanya menjadi pasar bagi produk asing.
Contoh sederhana adalah industri otomotif. Mengapa kita terus mengimpor mobil atau menjadi basis produksi bagi perusahaan asing, sementara negara-negara seperti China sudah mampu menciptakan merek sendiri yang kini mendominasi pasar global?
Masalahnya bukan pada ketidakmampuan, tetapi kurangnya keberanian untuk mengambil langkah besar.
4. Sandang, Pangan, dan UMKM yang Tak Diberdayakan
Persoalan pangan dan kesejahteraan rakyat juga tidak kalah kompleks. Sistem distribusi pangan di Indonesia sangat rumit, lebih karena faktor kebijakan yang tidak efisien daripada karena kelangkaan sumber daya.
Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya menjadi pemimpin dalam ketahanan pangan. Namun, kenyataannya, impor bahan pangan masih terus terjadi. Petani tidak mendapatkan perlindungan yang cukup, harga bahan pokok berfluktuasi tanpa kendali, dan rantai distribusi dipenuhi oleh perantara yang mengambil keuntungan besar.
UMKM, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, juga masih diabaikan. Banyak kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi besar daripada membangun ekosistem yang mendukung UMKM untuk berkembang. Padahal, jika diberdayakan dengan baik, UMKM bisa menjadi kekuatan utama dalam menciptakan ekonomi yang mandiri dan tahan krisis.
Indonesia Harus Bergerak dengan Kesadaran Baru
Indonesia tidak bisa maju jika sistem pendidikan, politik, dan ekonominya terus terperangkap dalam pola lama yang hanya menguntungkan segelintir elit.
Pendidikan harus diarahkan pada penguasaan ilmu yang nyata, termasuk dalam teknologi dan kepemimpinan politik yang sehat.
Rekrutmen pemimpin harus berbasis kapasitas, bukan sekadar kedekatan atau kepentingan finansial. Teknologi harus segera diambil alih dengan strategi yang jelas, bukan hanya menjadi pasar bagi industri asing.
Ketahanan pangan dan pemberdayaan UMKM harus menjadi prioritas utama untuk memastikan kesejahteraan rakyat.
Indonesia bukan negara yang miskin sumber daya, tetapi masih miskin dalam manajemen dan keberanian mengambil langkah besar.
Jika pola ini tidak berubah, maka bangsa ini akan terus tertinggal dalam perlombaan global, bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak mau bergerak dengan kesadaran baru.