Dalam lanskap komunikasi politik modern, penyebaran hoax bukan lagi sekadar fenomena, tetapi telah menjadi strategi yang digunakan untuk membentuk persepsi publik secara sistematis. Hoax bukan hanya soal kebohongan, tetapi juga tentang bagaimana kebohongan itu dikemas, disebarluaskan, dan diterima oleh audiens. Salah satu contoh yang menarik untuk dianalisis adalah isu “Pagar Bambu Misterius” dan tuduhan terhadap Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terkait penerbitan sertifikat hak guna bangunan di sekitar area tersebut.
Meskipun secara faktual AHY baru menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada tahun 2024, sementara sertifikat tersebut terbit pada tahun 2023, tetap saja ada pihak yang mencoba mengaitkannya dalam narasi negatif. Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa sebagian orang tetap percaya pada informasi yang jelas tidak masuk akal? Untuk menjawabnya, kita dapat menggunakan pendekatan ilmu komunikasi dan psikologi.
1. Efek Framing dan Narasi dalam Komunikasi Politik
Dalam ilmu komunikasi, framing adalah teknik yang digunakan untuk menyajikan suatu peristiwa atau isu dengan sudut pandang tertentu sehingga membentuk persepsi publik. Dalam kasus hoax pagar bambu, framing yang digunakan adalah menciptakan keterkaitan antara AHY dan penerbitan sertifikat, meskipun tidak ada dasar faktual yang mendukungnya.
Framing bekerja dengan cara menyederhanakan kompleksitas suatu masalah dan menyajikannya dalam bentuk narasi yang mudah dicerna oleh publik. Dalam kasus ini, narasi yang dibangun adalah:
1. Ada sesuatu yang mencurigakan – Penggunaan kata “misterius” pada pagar bambu membangun kesan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
2. Cari pihak yang bisa dikambinghitamkan – Menghubungkan penerbitan sertifikat dengan sosok yang memiliki posisi strategis di pemerintahan.
3. Beri momentum untuk memperkuat tuduhan – Fakta bahwa AHY baru menjabat pada 2024 tidak terlalu dipedulikan, karena tujuannya bukan untuk mencari kebenaran, melainkan membangun persepsi negatif.
Efek framing ini diperkuat dengan pola komunikasi yang mengandalkan availability heuristic, yaitu kecenderungan manusia untuk mengandalkan informasi yang paling mudah diingat. Ketika orang terus-menerus disajikan berita bahwa “AHY terlibat,” mereka akan lebih cenderung mengasosiasikannya dengan kebenaran, tanpa memverifikasi fakta sebenarnya.
2. Ilusi Kebenaran: Ketika Kebohongan yang Diulang Terasa Nyata
Dalam psikologi, ada fenomena yang disebut illusory truth effect, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempercayai informasi yang sering mereka dengar, bahkan jika itu tidak benar.
Penelitian menunjukkan bahwa semakin sering seseorang mendengar suatu informasi, semakin besar kemungkinan mereka mempercayainya. Hal ini terjadi karena otak manusia cenderung lebih nyaman dengan informasi yang familiar. Dalam konteks hoax pagar bambu, pengulangan narasi yang sama melalui media sosial, berita partisan, dan diskusi publik membuat isu ini tampak lebih meyakinkan di mata masyarakat yang kurang kritis.
Beberapa faktor yang membuat hoax ini lebih mudah diterima:
Bias Konfirmasi (Confirmation Bias): Orang cenderung menerima informasi yang mendukung keyakinan mereka sebelumnya. Jika mereka sudah memiliki persepsi negatif terhadap AHY, mereka akan lebih mudah menerima tuduhan tersebut.
Efek Halo (Halo Effect): Jika seseorang sudah dikaitkan dengan citra tertentu (misalnya, “elite politik”), maka segala sesuatu yang berkaitan dengannya akan lebih mudah dipercayai, bahkan jika tidak ada bukti yang mendukung.
Kecenderungan Menyalahkan Otoritas: Masyarakat sering kali skeptis terhadap pejabat pemerintah, sehingga lebih mudah untuk mempercayai narasi yang menggambarkan pejabat sebagai pelaku kesalahan, terlepas dari fakta yang ada.
3. Strategi AHY: Komunikasi Politik yang Dewasa dan Rasional
Menghadapi situasi ini, AHY memilih untuk tidak memberikan reaksi berlebihan. Ini adalah langkah yang cerdas, karena dalam komunikasi politik, respons yang emosional justru bisa memperkuat persepsi negatif yang sedang dibangun oleh lawan politik.
Dalam pendekatan komunikasi krisis, ada beberapa strategi yang bisa digunakan ketika seseorang menjadi target serangan hoax:
1. Silent Treatment (Mengabaikan) – Jika isu yang dilemparkan tidak memiliki dasar kuat, maka membiarkan opini publik terkonsolidasi sendiri bisa menjadi strategi yang efektif. Semakin seseorang menanggapi hoax, semakin besar eksposur yang diberikan pada isu tersebut.
2. Counter-Narrative (Membangun Narasi Balik) – Namun, jika hoax terus menyebar dan mengancam reputasi, penting untuk memberikan kontra-narasi berbasis fakta dengan cara yang tidak defensif. Dalam kasus ini, cukup dengan menunjukkan bahwa sertifikat tersebut terbit pada 2023, sementara AHY baru menjabat pada 2024.
3. Delegasi Jawaban ke Institusi Resmi – Dengan tidak menanggapi secara langsung dan membiarkan pihak ATR/BPN yang memberikan klarifikasi, AHY berhasil menghindari jebakan yang bisa membuatnya masuk dalam konflik politik yang tidak perlu.
Strategi yang diambil AHY menunjukkan bahwa ia memahami betul dinamika komunikasi politik dan psikologi massa. Tidak semua tuduhan perlu ditanggapi dengan reaksi keras, karena dalam banyak kasus, respons yang berlebihan justru dapat memperkuat persepsi negatif.
4. Membangun Masyarakat yang Kritis dan Cerdas dalam Menghadapi Hoax
Fenomena hoax pagar bambu ini bukan sekadar soal AHY, tetapi juga mencerminkan bagaimana masyarakat saat ini rentan terhadap manipulasi informasi.
Pendidikan literasi media menjadi hal yang sangat penting untuk membentuk masyarakat yang lebih kritis dalam menyaring informasi. Beberapa langkah yang dapat dilakukan:
Ajarkan Verifikasi Fakta: Sebelum menerima informasi, masyarakat harus terbiasa mengecek sumbernya.
Perkuat Kesadaran akan Bias Kognitif: Memahami bahwa otak kita memiliki kecenderungan untuk mempercayai informasi yang familiar dan sesuai dengan keyakinan sebelumnya.
Dorong Kewaspadaan terhadap Framing: Setiap berita yang muncul di media pasti memiliki sudut pandang tertentu. Penting untuk memahami siapa yang menyampaikan dan apa agendanya.
Jika masyarakat semakin sadar akan cara kerja manipulasi informasi, maka hoax seperti ini tidak akan lagi memiliki dampak yang signifikan.
Hoax pagar bambu misterius adalah contoh klasik bagaimana framing dan psikologi massa dapat digunakan untuk membentuk persepsi publik. Dengan mengulang-ulang narasi yang tidak berbasis fakta, kelompok tertentu berusaha menciptakan ilusi kebenaran di benak masyarakat.
Namun, strategi komunikasi yang diambil AHY dalam menghadapi hoax ini menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik. Dengan tidak terjebak dalam permainan lawan, ia membiarkan kebenaran berbicara dengan sendirinya.
Dari perspektif ilmu komunikasi dan psikologi, kasus ini mengajarkan kita betapa pentingnya berpikir kritis dalam menghadapi informasi yang beredar. Hanya dengan kesadaran dan literasi media yang baik, kita bisa membangun masyarakat yang tidak mudah terjebak dalam hoax dan propaganda. Karena pada akhirnya, kebenaran tidak perlu diulang-ulang agar tetap menjadi kebenaran—hanya kebohongan yang membutuhkannya.