Dehills.id

Menulis atau Ditulis

Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute
Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute

Dalam dunia modern ini, setiap individu dihadapkan pada dua pilihan: menjadi penulis atau menjadi yang ditulis. Ayah saya, Arsal Alhabsi, pernah menyampaikan kebijaksanaan ini dalam sebuah kesempatan yang tak pernah saya lupakan. Dua pilihan ini tidak hanya melibatkan pena dan kertas, tetapi juga eksistensi kita sebagai manusia yang ingin meninggalkan jejak di dunia ini.

Menjadi penulis adalah pilihan yang paling mudah, kata beliau. Setiap orang bisa menulis, bahkan tanpa harus menjadi istimewa. Menulis adalah ekspresi dari jiwa yang sadar akan keberadaannya. Ia adalah ruang di mana kita menciptakan narasi tentang hidup, pemikiran, dan mimpi-mimpi kita. Menulis bukan hanya tentang mencatat fakta, tetapi juga melukis pandangan kita tentang dunia. Dengan menulis, kita memahat warisan pikiran yang bisa melampaui batas waktu dan ruang.

Namun, menjadi yang ditulis adalah pilihan yang lebih sulit. Untuk menjadi seseorang yang ditulis, seseorang harus mampu menaklukkan ketinggian nilai-nilai kehidupan, menjadi inspirasi, atau bahkan kontroversi. Dunia hanya akan menulis tentang mereka yang memecahkan batas-batas kebiasaan, yang melakukan sesuatu yang begitu luar biasa hingga cerita mereka tak bisa diabaikan. Dalam baik dan buruk, menjadi yang ditulis berarti hidup kita memiliki resonansi yang cukup kuat untuk mengguncang dunia, atau setidaknya menggugah hati mereka yang membaca.

Pilihan ini bukan hanya soal peran, tetapi juga soal tanggung jawab. Menjadi penulis adalah tanggung jawab untuk mendefinisikan diri sendiri, untuk berbicara sebelum dunia memutuskan siapa kita. Dalam tulisan kita, kita menciptakan narasi yang mencegah orang lain menciptakan narasi yang salah tentang kita. Tulisan adalah tameng kita, dan kadang-kadang, ia juga pedang yang kita gunakan untuk memperjuangkan kebenaran.

Di sisi lain, menjadi yang ditulis adalah tanggung jawab untuk hidup dalam keagungan, menjadi pribadi yang layak untuk dikenang. Kehebatan ini tidak harus berupa keberhasilan besar yang mencolok; terkadang, kehebatan adalah kesederhanaan yang mendalam, kebaikan yang tulus, atau dedikasi yang tak tergoyahkan terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Dunia ini penuh dengan mereka yang telah ditulis oleh sejarah. Nama-nama besar seperti Nabi Muhammad SAW, Mahatma Gandhi, atau bahkan tokoh lokal yang berjasa dalam komunitas mereka adalah bukti bahwa hidup yang penuh arti akan selalu menemukan jalannya ke dalam tinta dan kertas. Tapi untuk setiap sosok yang ditulis, ada ribuan penulis di belakangnya, yang dengan ketekunan dan imajinasi mereka, memberikan kehidupan pada kisah-kisah tersebut.

Maka, dalam setiap hembusan napas kita, pertanyaan ini selalu bergema: Apakah kita akan menulis tentang hidup kita, ataukah kita akan hidup sedemikian rupa hingga dunia merasa perlu menulis tentang kita?

Tidak ada jawaban yang salah. Kedua pilihan itu saling melengkapi, seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Menulis adalah cara untuk menjadi abadi, untuk memberikan makna pada setiap detik yang berlalu. Menjadi yang ditulis adalah pengakuan dari dunia bahwa hidup kita telah menyentuh jiwa orang lain, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.

Ayah saya benar, pilihan pertama adalah yang termudah. Setiap hari adalah kesempatan untuk menulis, untuk mencatat, untuk menyusun puisi kehidupan. Tetapi pilihan kedua, menjadi yang ditulis, adalah panggilan yang lebih tinggi—untuk hidup dalam kebenaran, keindahan, dan keberanian, hingga dunia tak punya pilihan selain mengabadikan kita dalam cerita mereka.

Dan dalam perjalanan ini, mungkin kita tak harus memilih salah satu. Kita bisa menulis sambil menyiapkan diri untuk ditulis. Sebab, dalam menulis, kita belajar menjadi. Dan dalam menjadi, kita menciptakan cerita yang layak dikenang. Pada akhirnya, dunia ini adalah buku besar yang terbuka, dan kitalah yang memutuskan bagaimana kita ingin halaman-halaman itu diisi.

Exit mobile version